Opini Alizar Tanjung
Persepsi ini muncul berdasarkan fakta
yang mareka lihat di lapangan meski tidak seluruhnya. Orang awam melihat para
seniman berambut gondrong, acak-acakan, seperti tidak terawat, hidup mereka
seperti tidak mempunyai keluarga. Saat orang awam melihat penampilan seniman
diluar kebiasaan umum, hal itu memunculkan persepsi baru dalam kepala mereka.
Sesuatu yang tidak terurus identik dengan jalanan, berantakan, mikin. Persepsi
ini kemudian mereka lekatkan kepada apa yang mereka lihat.
Kemiskinan persepsi, kemiskinan
personal, kemiskinan style ini terbentuk tidak terlepas dari pancingan prilaku
para seniman. Sesuatu yang awalnya bermula dari prilaku berubah menjadi
kebiasaan. Kebiasaan ini mempengaruhi pola pikir orang banyak. Dalam konsep
psikologi pikiran memberikan sumbangsih terbesar dalam tindakan.
Hasilnya pada hari ini banyak para
pelaku seni yang dimiskinkan oleh prilaku berkesenian mereka sendiri.
Panggung-panggung pertunjukan miskin pengunjung. Galeri-galeri miskin
pengunjung. Jumlah pelaku seni pun berkurang akibat munculnya persepsi bahwah
seni tidak menghidupkan. Kemudian tercipta persepsi baru bahwa masyarakat
Sumatera Barat minim penghargaan terhadap seni, masyarakat barat tidak penyuka
seni, masyarakat barat hitung-hitungan dan mengeluarkan uang demi menikmati
seni.
Penonton tidak salah, penikmat tidak
salah, peminat seni tidak salah. Persepsi yang diciptakan selama ini yang
membuat penonton, penikmat, peminat, menjadi tidak bernafsu dengan kesenian.
Mereka dikondisikan oleh keadaan prilaku para pelaku kesenian dan para kritikus
kesenian yang lebih cendrung melakukan kritik sentimentil terhadap seni: seni
pertunjukan, seni lukis, seni tari, dll.
Melihat lebih jauh ke seni pertunjukan,
kenapa seni-seni pertunjukan selalu sepi penonton, padahal tiketnya cukup
terjangkau, hanya kisaran 10-15 ribu rupiah? Jumlah uang ini hanya untuk satu
jus mangga, satu bungkus rokok, atau untuk satu kali sarapan pagi. Harga yang
jauh cukup murah dan di bawah standar untuk menghidupi kesenian. Hasil dari
uang tiket ini bahkan tidak cukup untuk membiayai proses penggarapan satu
naskah sampai diperankan di atas panggung.
Selaku penikmat seni, mendatangi
seni-seni pertunjukkan dengan penonton yang tidak sampai separuh ruangan, cukup
membuatkan irisan dalam jantung. Jarak seperti apa yang terjadi antara penonton
dan pelaku seni? Hanya pertunjukan-pertunjukan tertentu yang cukup ramai,
karena anggota pelaku seni melakukan
inovasi strategi pemasaran.
Analisis dilakukan untuk menemukan
benang merah antara penonton dan pelaku seni pertunjukan. Esensi dari seni pertunjukan
adalah memainkan naskah dengan sebaik-baiknya di atas panggung. Sedangkan
esensi dari penonton adalah mendapatkan kepuasan seni dari apa yang mereka
lihat, dengar, dan rasakan. Dua esensi dasar ini saja tidak cukup dalam sebuah
pertunjukan.
Seni pertunjukan identik dengan
penonton. Sia-sia mengadakan pertunjukan kalau tidak ada yang menonton.
Pertanyaan besar yang harus dijawab dan dipecahkan secara bersama, bagaimana
mendatangkan penonton? Pertanyaan “bagaimana”adalah pertanyaan manajen dari sebuah
pertunjukan. Manajemen marketing yang baik tentu akan memberikan keuntungan
besar dari sebuah seni pertunjukan.
Pertunjukan-pertunjukan yang
berlangsung selama ini lebih terfokus kepada artistik dan keaktoran, tetapi
persoalan bagaimana melepaskan pertunjukan bernilai jual ke pasar sangat jarang
dibicarakan oleh pelaku kesenian. Beberapa tahun belakangan seni pertunjukkan
ditampilkan dengan manajemen marketing seadanya. Bahkan ada pementasan yang
baru memasang spanduk, pamflet, brosur pementasan seminggu sebelum tampil. Hal
itu pun di pasang di tempat-tempat yang sunyi orang. Bahkan lebih miris lagi
pengumuman pementasan dilakukan tiga hari sebelum tampil. Sungguh kerja seni
pertunjukan yang amat buruk.
Mereka lebih sibuk dengan artistik dan
keaktoran. Sedangkan bagaimana mendapatkan sponsor dalam jumlah besar,
bagaimana meyakinkan sponsor, bagaimana menjual tiket dengan harga tinggi dan
penonton tidak merasa rugi, sangat sedikit diperbincangkan.
Cara-cara penjualan
tiket, cara-cara mendapatkan sponsor kalaupun ada dilakukan masih menggunakan
cara yang konfensional. Kemudian pesimistis persoalan dana dalam pelaku seni
pertunjukkan, cukup tinggi. Sehingga pertunjukan dilakukan dengan dana
seadanya, sedangkan persoalan memanfaatkan dana-dana dari sponsor mengedepankan
pesimisnya daripada mendapatkan anggarannya.
Mendatangkan penonton ke galeri
pertunjukan dengan iklim pesimistis yang tercipta sekarang memang bukan perkara
mudah, tetapi bukan tidak mungkin dilakukan. Bahkan sangat mungkin. Mengadakan
sesuatu yang belum ada jauh lebih sulit, daripada mengadakan sesuatu yang sudah
ada, tinggal memperbaiki manajemen.
Para pelaku seni pertunjukan mesti
mulai memikirkan pasar dengan sangat mendetail. Menempatkan manajemen marketing
yang fokus kerjanya melakukan marketing adalah terobosan baru di Sumbar, untuk
mengangkatkan performa seni pertunjukan. Kalau ingin iklim seni pertunjukan
membumi di Sumbar, marketing seni pertunjukan tidak bisa dilakukan dengan
sambilan, dia harus dikerjakan dengan terfokus dan terprogram.
Tim manajemen, khususnya di bidang
marketing yang akan memikirkan dengan serius bagaimana mendapatkan sponsor,
dana csr, mendatangkan penonton dalam jumlah besar, menjual tiket dengan harga
tinggi kepada penonton tanpa penonton merasa rugi. Tim manajemen juga harus
memikirkan publikasi media: publikasi dalam bentuk resensi seni pertunjukan
sebelum dan sesudah manggung, publikasi dalam bentuk iklan cetak, iklan tv, publikasi
dalam bentuk soft, publikasi dalam baliho, brosur, publikasi di mall,
pusat-pusat perbelanjaan. Inilah kerja berat seni pertunjukan satu saat ini.[2015]