Breaking

Tuesday, June 2, 2015

Seni Pertunjukan dan Penonton

Opini Alizar Tanjung
           
Dalam seni pertunjukkan di Sumatera Barat beberapa dekade ini dikenal kata persamaan “seni sama dengan miskin”. Kesenian diidentikkan dengan kemiskinan: kesenian diidentikkan dengan orang yang miskin, nilai jual karya yang miskin, miskin penonton. Lebih ekstrimnya kesenian memiskinkan para pelaku seni. Hal ini juga berlaku hampir untuk seluruh produk kesenian. Persamaan seni dengan miskin menimbulkan efek kepada penonton sudah semenjak lama. Para penikmat seni menimbulkan persepsi baru selama beberapa dekade dalam kepala mereka, “kalau ingin berkesenian siap-siap untuk orang termiskin.” Persepsi yang terbentuk di kepala peminat dan penikmat seni Sumbar merambah ke nasional.  

Persepsi ini muncul berdasarkan fakta yang mareka lihat di lapangan meski tidak seluruhnya. Orang awam melihat para seniman berambut gondrong, acak-acakan, seperti tidak terawat, hidup mereka seperti tidak mempunyai keluarga. Saat orang awam melihat penampilan seniman diluar kebiasaan umum, hal itu memunculkan persepsi baru dalam kepala mereka. Sesuatu yang tidak terurus identik dengan jalanan, berantakan, mikin. Persepsi ini kemudian mereka lekatkan kepada apa yang mereka lihat. 

Kemiskinan persepsi, kemiskinan personal, kemiskinan style ini terbentuk tidak terlepas dari pancingan prilaku para seniman. Sesuatu yang awalnya bermula dari prilaku berubah menjadi kebiasaan. Kebiasaan ini mempengaruhi pola pikir orang banyak. Dalam konsep psikologi pikiran memberikan sumbangsih terbesar dalam tindakan.  

Hasilnya pada hari ini banyak para pelaku seni yang dimiskinkan oleh prilaku berkesenian mereka sendiri. Panggung-panggung pertunjukan miskin pengunjung. Galeri-galeri miskin pengunjung. Jumlah pelaku seni pun berkurang akibat munculnya persepsi bahwah seni tidak menghidupkan. Kemudian tercipta persepsi baru bahwa masyarakat Sumatera Barat minim penghargaan terhadap seni, masyarakat barat tidak penyuka seni, masyarakat barat hitung-hitungan dan mengeluarkan uang demi menikmati seni. 

Penonton tidak salah, penikmat tidak salah, peminat seni tidak salah. Persepsi yang diciptakan selama ini yang membuat penonton, penikmat, peminat, menjadi tidak bernafsu dengan kesenian. Mereka dikondisikan oleh keadaan prilaku para pelaku kesenian dan para kritikus kesenian yang lebih cendrung melakukan kritik sentimentil terhadap seni: seni pertunjukan, seni lukis, seni tari, dll. 

Melihat lebih jauh ke seni pertunjukan, kenapa seni-seni pertunjukan selalu sepi penonton, padahal tiketnya cukup terjangkau, hanya kisaran 10-15 ribu rupiah? Jumlah uang ini hanya untuk satu jus mangga, satu bungkus rokok, atau untuk satu kali sarapan pagi. Harga yang jauh cukup murah dan di bawah standar untuk menghidupi kesenian. Hasil dari uang tiket ini bahkan tidak cukup untuk membiayai proses penggarapan satu naskah sampai diperankan di atas panggung. 

Selaku penikmat seni, mendatangi seni-seni pertunjukkan dengan penonton yang tidak sampai separuh ruangan, cukup membuatkan irisan dalam jantung. Jarak seperti apa yang terjadi antara penonton dan pelaku seni? Hanya pertunjukan-pertunjukan tertentu yang cukup ramai, karena anggota pelaku seni  melakukan inovasi strategi pemasaran. 

Analisis dilakukan untuk menemukan benang merah antara penonton dan pelaku seni pertunjukan. Esensi dari seni pertunjukan adalah memainkan naskah dengan sebaik-baiknya di atas panggung. Sedangkan esensi dari penonton adalah mendapatkan kepuasan seni dari apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan. Dua esensi dasar ini saja tidak cukup dalam sebuah pertunjukan. 

Seni pertunjukan identik dengan penonton. Sia-sia mengadakan pertunjukan kalau tidak ada yang menonton. Pertanyaan besar yang harus dijawab dan dipecahkan secara bersama, bagaimana mendatangkan penonton? Pertanyaan “bagaimana”adalah pertanyaan manajen dari sebuah pertunjukan. Manajemen marketing yang baik tentu akan memberikan keuntungan besar dari sebuah seni pertunjukan. 

Pertunjukan-pertunjukan yang berlangsung selama ini lebih terfokus kepada artistik dan keaktoran, tetapi persoalan bagaimana melepaskan pertunjukan bernilai jual ke pasar sangat jarang dibicarakan oleh pelaku kesenian. Beberapa tahun belakangan seni pertunjukkan ditampilkan dengan manajemen marketing seadanya. Bahkan ada pementasan yang baru memasang spanduk, pamflet, brosur pementasan seminggu sebelum tampil. Hal itu pun di pasang di tempat-tempat yang sunyi orang. Bahkan lebih miris lagi pengumuman pementasan dilakukan tiga hari sebelum tampil. Sungguh kerja seni pertunjukan yang amat buruk. 

Mereka lebih sibuk dengan artistik dan keaktoran. Sedangkan bagaimana mendapatkan sponsor dalam jumlah besar, bagaimana meyakinkan sponsor, bagaimana menjual tiket dengan harga tinggi dan penonton tidak merasa rugi, sangat sedikit diperbincangkan. 

Cara-cara penjualan tiket, cara-cara mendapatkan sponsor kalaupun ada dilakukan masih menggunakan cara yang konfensional. Kemudian pesimistis persoalan dana dalam pelaku seni pertunjukkan, cukup tinggi. Sehingga pertunjukan dilakukan dengan dana seadanya, sedangkan persoalan memanfaatkan dana-dana dari sponsor mengedepankan pesimisnya daripada mendapatkan anggarannya. 

Mendatangkan penonton ke galeri pertunjukan dengan iklim pesimistis yang tercipta sekarang memang bukan perkara mudah, tetapi bukan tidak mungkin dilakukan. Bahkan sangat mungkin. Mengadakan sesuatu yang belum ada jauh lebih sulit, daripada mengadakan sesuatu yang sudah ada, tinggal memperbaiki manajemen. 

Para pelaku seni pertunjukan mesti mulai memikirkan pasar dengan sangat mendetail. Menempatkan manajemen marketing yang fokus kerjanya melakukan marketing adalah terobosan baru di Sumbar, untuk mengangkatkan performa seni pertunjukan. Kalau ingin iklim seni pertunjukan membumi di Sumbar, marketing seni pertunjukan tidak bisa dilakukan dengan sambilan, dia harus dikerjakan dengan terfokus dan terprogram. 

Tim manajemen, khususnya di bidang marketing yang akan memikirkan dengan serius bagaimana mendapatkan sponsor, dana csr, mendatangkan penonton dalam jumlah besar, menjual tiket dengan harga tinggi kepada penonton tanpa penonton merasa rugi. Tim manajemen juga harus memikirkan publikasi media: publikasi dalam bentuk resensi seni pertunjukan sebelum dan sesudah manggung, publikasi dalam bentuk iklan cetak, iklan tv, publikasi dalam bentuk soft, publikasi dalam baliho, brosur, publikasi di mall, pusat-pusat perbelanjaan. Inilah kerja berat seni pertunjukan satu saat ini.[2015]

Koran Wawasan Edisi 194, Februari 2023

"Prakiraan Cuaca Selasa 29 Agustus 2023"


"KEPUASAN ANDA UTAMA KAMI"




BOFET HARAPAN PERI Jl. SAMUDRA No 1 KOMP. PUJASERA PANTAI PADANG
Selamat Datang diSemoga Anda Puas