MWawasan.SUMUT~ Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri dan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, telah melakukan diseminasi di Medan, Sumatera Utara, pada 30 Mei 2017 mengenai capaian Indonesia-UE FLEGT VPA. Kegiatan dilakukan untuk mendapat masukan atas pelaksanaan FLEGT–VPA (Forest Law Enforcement, Governance, and Trade–Voluntary Partnership Agreement) serta mempromosikan legalitas kayu Indonesia melalui SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu).
Diseminasi dihadiri oleh Kepala Dinas Kehutanan, Prov. Sumatera Utara, Halen Purba; Direktur PPHH, KLHK, Dr. Rufi'ie; Direktur Kerja Sama Intrakawasan dan Antarkawasan Amerop, Kemlu; Dewi Gustina Tobing; Konselor Lingkungan dan Perubahan Iklim Delegasi Uni Eropa, Michael Bucki; Wakil industri kayu, Natanael; peserta dari media, LSM, dan stakeholder kayu terkait lainnya.
Halen Purba menyampaikan bahwa sebagai negara pertama di dunia yang menerima Lisensi FLEGT, industri kayu Indonesia harus konsisten memenuhi persyaratan legalitas dan sudah saatnya semua produk kayu Indonesia bersertifikat legal.
Dalam implementasi Lisensi FLEGT, sejak diterbitkan pada 15 November 2016, diakui masih terdapat beberapa kendala yang bersifat teknis, namun kendala teknis tersebut dapat diatasi dengan baik. "Tidak ada masa transisi pada awal berlakunya Lisensi FLEGT sehingga ada hal-hal teknis yang harus dikoordinasikan di lapangan termasuk administrasi dan bahasa. Permasalahan teknis yang timbul telah dapat diselesaikan," jelas Rufi'ie.
Dewi Gustina Tobing menyampaikan bahwa Lisensi FLEGT merupakan sarana untuk lebih mengembangkan ekspor komoditas kayu Indonesia di pasar Eropa. Produk furniture misalnya terus meningkat sejak pemberlakuannya.
"Pengakuan SVLK dengan pemberian FLEGT License oleh UE menjamin legalitas kayu Indonesia. Dengan Lisensi ini, produk kayu Indonesia ke Uni Eropa tidak perlu lagi melalui due diligence (uji tuntas), sehingga hal ini memperkuat akses pasar produk kayu Indonesia. Pemanfaatan akses pasar ini dapat lebih dioptimalkan oleh pengusaha Indonesia dengan diikuti oleh pengembangan produk baik dari design, harga, kualitas, kapasitas dan kontinuitas." Jelas Dewi.
Natanael, pelaku usaha industri perkayuan di Sumut, PT Samawood Utama, mengatakan, selama ini pihaknya mendukung sepenuhnya kehadiran SVLK. Ia mengaku, perusahaannya sudah mengimplementasikan sistem SVLK sejak beberapa tahun lalu, dan ternyata sangat diterima pasar. "Sertifikasi produk adalah bagian dari strategi marketing, dan lebih meningkatkan kepercayaan pelanggan. Selain itu, sistem sertifikasi mudah diterapkan," katanya.
Michael Bucki, Delegasi Uni Eropa, mengatakan peraturan perkayuan Uni Eropa memegang tiga prinsip. Pertama, melarang produk perkayuan serta semua produk yang terbuat dari kayu ilegal (termasuk mebel dan komponen mebel) masuk pasar Uni Eropa. Kedua, mengharuskan para pedagang Uni Eropa yang menempatkan produk-produk kayu di pasar Uni Eropa, untuk melakukan prosedur due diligence. Ketiga, mengharuskan operator Uni Eropa mengarsipkan seluruh data pemasok dan pembeli mereka. "Jika terdapat produk di dalam EUTR yang tidak terdapat dalam daftar VPA (Voluntary Partnership Agrrement), maka uji tuntas UETR akan diberlakukan," tandas Bucki.
Acara diseminasi juga diisi dengan penjelasan tentang regulasi impor produk perkayuan dan coaching clinic untuk praktek pengajuan rekomendasi impor oleh narasumber dari KLHK.
Lisensi FLEGT merupakan hasil dari perjanjian FLEGT Voluntary Partnership Agreement (FLEGT VPA) Indonesia-UE yang ditandatangani pada tanggal 30 September 2013 dan berlaku sejak 1 Mei 2014. Dengan diterimanya Lisensi FLEGT ini maka komoditas kayu dan turunannya dari Indonesia tidak lagi melewati uji tuntas (green lane) di pasar Uni Eropa.
Capaian ini juga menunjukkan Indonesia sebagai pemain penting dalam upaya memberantas pembalakan liar dan perdagangan kayu ilegal, serta menjaga kelestarian hutan dan merupakan pengakuan internasional terhadap legalitas kayu Indonesia melalui Sistem Verivikasi Legalitas Kayu (SVLK) sebagai basis teknis pelaksanaan Lisensi FLEGT. SVLK adalah sistem perdagangan kayu dengan memperhatikan prinsip legalitas, traceability, dan sustainability yang melibatkan multistakeholder.
Diseminasi dihadiri oleh Kepala Dinas Kehutanan, Prov. Sumatera Utara, Halen Purba; Direktur PPHH, KLHK, Dr. Rufi'ie; Direktur Kerja Sama Intrakawasan dan Antarkawasan Amerop, Kemlu; Dewi Gustina Tobing; Konselor Lingkungan dan Perubahan Iklim Delegasi Uni Eropa, Michael Bucki; Wakil industri kayu, Natanael; peserta dari media, LSM, dan stakeholder kayu terkait lainnya.
Halen Purba menyampaikan bahwa sebagai negara pertama di dunia yang menerima Lisensi FLEGT, industri kayu Indonesia harus konsisten memenuhi persyaratan legalitas dan sudah saatnya semua produk kayu Indonesia bersertifikat legal.
Dalam implementasi Lisensi FLEGT, sejak diterbitkan pada 15 November 2016, diakui masih terdapat beberapa kendala yang bersifat teknis, namun kendala teknis tersebut dapat diatasi dengan baik. "Tidak ada masa transisi pada awal berlakunya Lisensi FLEGT sehingga ada hal-hal teknis yang harus dikoordinasikan di lapangan termasuk administrasi dan bahasa. Permasalahan teknis yang timbul telah dapat diselesaikan," jelas Rufi'ie.
Dewi Gustina Tobing menyampaikan bahwa Lisensi FLEGT merupakan sarana untuk lebih mengembangkan ekspor komoditas kayu Indonesia di pasar Eropa. Produk furniture misalnya terus meningkat sejak pemberlakuannya.
"Pengakuan SVLK dengan pemberian FLEGT License oleh UE menjamin legalitas kayu Indonesia. Dengan Lisensi ini, produk kayu Indonesia ke Uni Eropa tidak perlu lagi melalui due diligence (uji tuntas), sehingga hal ini memperkuat akses pasar produk kayu Indonesia. Pemanfaatan akses pasar ini dapat lebih dioptimalkan oleh pengusaha Indonesia dengan diikuti oleh pengembangan produk baik dari design, harga, kualitas, kapasitas dan kontinuitas." Jelas Dewi.
Natanael, pelaku usaha industri perkayuan di Sumut, PT Samawood Utama, mengatakan, selama ini pihaknya mendukung sepenuhnya kehadiran SVLK. Ia mengaku, perusahaannya sudah mengimplementasikan sistem SVLK sejak beberapa tahun lalu, dan ternyata sangat diterima pasar. "Sertifikasi produk adalah bagian dari strategi marketing, dan lebih meningkatkan kepercayaan pelanggan. Selain itu, sistem sertifikasi mudah diterapkan," katanya.
Michael Bucki, Delegasi Uni Eropa, mengatakan peraturan perkayuan Uni Eropa memegang tiga prinsip. Pertama, melarang produk perkayuan serta semua produk yang terbuat dari kayu ilegal (termasuk mebel dan komponen mebel) masuk pasar Uni Eropa. Kedua, mengharuskan para pedagang Uni Eropa yang menempatkan produk-produk kayu di pasar Uni Eropa, untuk melakukan prosedur due diligence. Ketiga, mengharuskan operator Uni Eropa mengarsipkan seluruh data pemasok dan pembeli mereka. "Jika terdapat produk di dalam EUTR yang tidak terdapat dalam daftar VPA (Voluntary Partnership Agrrement), maka uji tuntas UETR akan diberlakukan," tandas Bucki.
Acara diseminasi juga diisi dengan penjelasan tentang regulasi impor produk perkayuan dan coaching clinic untuk praktek pengajuan rekomendasi impor oleh narasumber dari KLHK.
Lisensi FLEGT merupakan hasil dari perjanjian FLEGT Voluntary Partnership Agreement (FLEGT VPA) Indonesia-UE yang ditandatangani pada tanggal 30 September 2013 dan berlaku sejak 1 Mei 2014. Dengan diterimanya Lisensi FLEGT ini maka komoditas kayu dan turunannya dari Indonesia tidak lagi melewati uji tuntas (green lane) di pasar Uni Eropa.
Capaian ini juga menunjukkan Indonesia sebagai pemain penting dalam upaya memberantas pembalakan liar dan perdagangan kayu ilegal, serta menjaga kelestarian hutan dan merupakan pengakuan internasional terhadap legalitas kayu Indonesia melalui Sistem Verivikasi Legalitas Kayu (SVLK) sebagai basis teknis pelaksanaan Lisensi FLEGT. SVLK adalah sistem perdagangan kayu dengan memperhatikan prinsip legalitas, traceability, dan sustainability yang melibatkan multistakeholder.
#Gan/Dit. KSIA Amerop)
No comments:
Post a Comment